"I am so clever that sometimes I don't understand a single word of what I am saying." (Oscar Wilde)


blog / huephoric / twitter
← old
Mari bertemu kembali
Kamis, 09 Februari 2017

27 Oktober 2014

Aku merindu saat ini. Dimana dinosaurus mengumandangkan auman-nya. I rawr you akan menjadi cerita yang klasik dan romantik. Namun masih mengesankan sedikit gelitik, untuk lelaki yang kupeluk melalui rintik. Jauh disana namun tetap ku nanti.

Mari bertemu lagi pada cerita yang lain. Dimana awal baru akan dimulai, menyusun paragraf yang tidak sesuai namun terkesan mendawai. Bahkan jika hatimu tak ingin ku gapai, aku tak akan menyerah. Ku dayung beribu alunan tanpa arah.

Mari bertemu kembali.


Epilog
Selasa, 17 Januari 2017

Hujan memang bodoh. Ia merindukan langit, namun sudah terlambat. Waktu memang sulit di tebak, berlalu dengan seenaknya bukan?....

Sampai Jumpa, Langit.


Aku akan menjadi prolog dan epilogmu.
Senin, 09 Januari 2017

Bukan sebuah prolog yang epic. Menganut cerita yang realistik namun terkesan romantik.

Sosok yang rupawan namun terkesan elegan. Memudar di hiruk pikuk kota yang indah. Gedung menjulang dengan kaca kaca menyilaukan, denting lonceng geraja berkumandang membelah keheningan. Satu dari sekian kalimat yang ingin ku tanyakan pada lelaki disana, yang jemarinya sedang memenuhi jemari gadis itu. Gadis yang telah merampas lelaki dengan kelembutannya.

Aku ingin segera berteriak meminta nya agar terhempas dalam nirvana. Namun yang terjadi malah lautan gema sendu yang terkalahkan oleh gemericik rindu...

Senyuman lelaki itu mungkin...palsu. Tidak sama seperti senyuman bersama diriku, aku tidak tahu. Tidak ada getaran rasa rindu yang menggebu melainkan hanya bualan yang semakin menumpuk seperti debu. Aku ingin dia di pelukanku, menyadarkannya bahwa cinta memang tabu untuk di adu. Tapi... Persetan dengan perkataan itu. Aku hanya ingin kamu berada disini bersama ku.

Di sisi lain...
Lihat? Sosok itu telah meninggalkanmu. Menusukmu dengan monolog terkesan sendu. Menyedihkan melihat sifat diam mu pergi, perlahan merasuki diriku yang mulai lupa dengan kenikmatan.
Kau tahu? Aku mengenal seseorang dan Dia mengajarkanku untuk berkata bahwa "Aku tak merasakan apa-apa" dengan jelas. Memperlihatkanku revolusi kekejaman zaman yang makin kekinian dengan perbandingan tumpah darah. Seolah lautan biru menjadi merah. Senja yang sendu menjadi bergejolak tumpah meruah.

Namanya? Kau tahu siapa dia, sesosok ksatria pada zamannya. Pada zaman di mana epilog kebahagianmu mulai menjadi tidak nyata. Dan aku? Semoga akan menjadi prolog barumu menggantikan gadis epilog itu.

Dan aku akan berkata pada gadis itu dengan lantang.

"Dia masih dan akan terus menjadi lelakiku. Milikku."

Tertanda
Gadis yang sangat amat sangat membenci hujan itu.

Namun akan terus menjadi hujan itu sendiri.


"Bantu saya" Rintik itu berbisik
Minggu, 08 Januari 2017

Adakah seseorang yg membacanya? Membaca runtutan kalimat yang membual ini? Sejujurnya aku muak untuk menulisnya. Menulis untuk seseorang yang tidak ada sejak awal. Bahkan wajahnya saja aku tidak bisa memprediksikannya, aku hanya menuruti perasaan dan bisikan seiring berjalannya hujan...rintik itu, entah aku belum menamainya, aku berkenalan dengannya tanpa sengaja, gadis kecil bergaun merah yang sangat gembira saat melihat hujan. Melantunkan puisi yang indah namun menyedihkan. Menggambarkan betapa menyedihkan surat dari langit itu, seakan menyindir seseorang yang jatuh cinta tanpa pondasi kasih sayang yang nyata. Samar namun memang terasa, Lenyap namun membekas.

Senyumnya indah, seperti senja. Warna gaun merahnya merona bagaikan kehangatan yang menyelimutinya. Gadis kecil, teruntuk siapakah puisi ini? Apa hujan itu membuatnya merindukakan pesona sang surya? Lalu siapa yang kau maksud dengan Langit dan hujan? Aku ingin bertanya namun puisimu membuat tanganku menari dengan indah. Bagaikan pianis yang berusaha menyempurnakan nada nada senyap. Aku terhipnotis oleh dasyatnya kesedihanmu. Saat hujan mulai deras dan mengguyur tanah ...membuatnya berdenting, seolah tangisanmu berhenti juga. Lalu kamu... gadis kecil, menengadahkan kepalanya, memperlihatkan bibir yang tersungging dengan hiasan senyuman kecil disana.

Gadis kecil, apa aku boleh bertanya sekali lagi?

Apa yang dimaksud dengan Hujan adalah kamu? Dan Langit adalah kekasih yang selalu kau tatap di mega mendung itu?

Sejujurnya aku ingin tahu, namun adakah seseorang yang ingin membantuku juga? Membantuk menemukan langit untuk gadis bergaun merah ini?

Tertanda
Penulis puisi Hujan


Say Hai?
Kamis, 08 Desember 2016

December 8, 2016

Aku membuat sapaan yang tak begitu menyenangkan, membuatnya memotret sebuah ruangan tanpa alasan. Bodoh memang, sungguh sungguh bodoh. Hanya dalam kalimat tanpa harapan itu aku melayangkan sapaan.

Berharap untuk mendapat sebuah notifikasi applikasi pesan, dan tersenyum bahwa itu dia. Dia yang memang tidak pernah ada, namun hati ini sempat merasakan 'pernah memiliki'.

Surat untuk langit kini memang tersampaikan untuk langit. Bukan dengan langit yang ber atmosfir namun langit yang benar benar langit. Dimana mega mendungnya tidak mencapai, dimana kerlip lintang tak menerangi dan dimana......sebuah cahaya berdiri dengan sendiri nya.

Oyasumi


Pamit?
Jumat, 30 September 2016

Apa masih perlu surat itu ku kirimkan? Apa setetes rindu ku masih di terimanya? Apa masih ada aku disana? Di dalam relung keabadian masa, merenggut fatamorgana cinta.

Bayang mu. Kehilanganmu. Keabadianmu. Kasihmu

Aku masih di bawah hujan. Menangkup isak tangis ku dirintik lautan.
Aku menangis. Setiap malam mengais, cinta yang dulu kau kasih.
Aku ... Merindu untuk kesekian kalinya.
Aku ... Menyesal untuk beribu ribu ulangnya.
Aku ... Membunuh diriku...
Dengan kehilanganmu, aku tiada.

Keabadianmu adalah degub jantungku.
Kehilanganmu adalah ketiadaanku.

Aku sudah tiada


Surat untuk Langit (VI)
Jumat, 26 Agustus 2016

Yogyakarta, 27 Agustus 2016
Sdr. Langit
Di tempat

Em...bagaimana aku harus mengawalinya? Dengan sapaan salam sayang seperti dahulu? Atau , ah aku bingung

Hey, langit. Kekasihku. Apa msh sama? Lancang sekali aku menyebut dirimu sebagai kekasihku. Apa aku harus berhenti membuat surat ini ketika aku kehilangan sosok mega angkasa ku? Apa kau tak ingin membaca surat surat dariku lagi? Tapi jangan kau hentikan torehan tinta ini karena aku kehilanganmu, biarkan aku menyimpannya dengan alunan indah kenangan kita.

Apa kau masih ingat bagaimana kita bertemu dan saling menyapa? Ya...dalam mata pelajaran psychology, bisakah kita mengulanginya? Aku memang lalai telah melepasmu namun masih saja berada di dekatmu, menganggumu dengan pelukan hampa tanpa balasan, buaian tangan tanpa ketenangan dan....kecupan samar tanpa kasih sayang , lebih menyakitkan lagi genggaman tangan tanpa balasan.
Apa kau ingat bagaimana kisah kita di mulai? Candaan tawa yang selalu kita tertawakan yang konyolnya itu tidak lucu...aku terbiasa dengan senyum khas mu.

Apa aku benar benar kehilanganmu? Apa usaha ku ini akan berbuah manis ? Atau dengan halus kau menyuruhku mundur untuk perlahan?

Jika kau membacanya, aku ingin menyampaikan dengan tegas bahwa aku tulus menyayangimu, benih yg kau tanam kan sayang dan kau rawat ini kusimpan dalam etalase kaca yang terjaga. Kecuali kau sendiri, langit . Kau yang merusakkan dan aku hanya bisa....menatap nanar dan kau menatap iba.

Aku menangis? Ya, tiap kata yang kau berikan setelah kejadian itu. Dimana kau berfikir aku hanya membiarkan mu terluka, nyatanya siapa dulu yang terluka? Bukan...bukan aku. Tapi disini, detak jantungku. Yang menantimu..... Dan aku terus menangis agar tidak kehilanganmu

"kamu cengeng" katamu, aku rindu itu.
"Aku juga sayang kamu hujan"
"Bosen, main yuk"
"Kita main sambung kata"
"Pagi hujan"
"Utukutukutuk...cup cup"

Aku mengingat semuanya...dan haruskah aku melupakannya?

Dari kekasihmu... Yang bodoh.
Hujan


layout by ellie. image from weheartit.